Halaman

Thursday, August 29, 2013

Indonesia Merdeka Juga Karena Palestina dan Mesir

Jasa Palestina

Kemerdekaan Indonesia tidak pernah lepas dari negara-negara yang pertama sekali memberikan dukungan yaitu Palestina dan Mesir. Hal ini dikutip dari buku yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan, yaitu "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri".

Di dalam buku tersebut, dijelaskan tentang partisipasi, peran serta, opini, dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara lain belum ada yang bersikap.

 Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini yang saat itu merupakan mufti agung Palestina secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia. Saat sedang berada di Jerman pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini kepada dunia Islam.
 Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut disebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” juga menyiarkan. Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat di negeri ini.

Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Soekarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.

Dukungan Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia semakin terasa saat seorang saudagar kaya Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher secara spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan pun mengalir, di jalan-jalan terjadi demonstrasi- demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.

Jasa Mesir

Di antara negara-negara Arab, Mesir adalah salah satu negara yang paling gencar dan nyata usahanya dalam kemerdekaan Indonesia.

Negara-negara Arab pada waktu itu yang paling dahulu mengakui kemerdekaan Indonesia dan yang paling dahulu mengirim misi diplomatik nya ke Jogja, serta yang pertama memberikan bantuan dana bagi utusan-utusan RI di luar negeri. Kita tidak boleh melupakan jasa dan bantuan moral negara Mesir dalam membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan diakui oleh dunia Internasional.

Waktu itu, perjuangan menegakkan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan menjadi lebih sulit, karena yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukan hanya penjajah Belanda tetapi juga tatanan dunia yang tidak mendukung bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tantangan berat harus dihadapi oleh diplomasi Indonesia di luar negeri waktu itu. Dengan keyakinan yang kuat akan hak kita, para pejuang diplomasi Indonesia mencari dukungan masyarakat internasional terhadap republik yang baru dilahirkan.

Perjuangan dalam memperoleh salah satu syarat berdirinya negara, merupakan langkah berat bagi sebuah bangsa yang baru merdeka. Dan tokoh-tokoh negarawan Islam hadir di barisan depan. Untuk itu pulalah, Indonesia sebagai kekuatan yang telah lebih dulu menanamkan benih persaudaraan di luar batas Indonesia.
Memulai langkah diplomasi luar negerinya dengan lebih mendekatkan diri ke negara-negara yang senasib dan seperjuangan. Dengan kekuatan Islam di belakang kemerdekaan Indonesia, para pendiri lebih memilih melakukan pendekatan pertama ke Timur Tengah.

Negara pertama yang dikunjungi adalah Mesir dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir adalah gerakan pertama kali yang memberikan support bagi kemerdekaan Indonesia. Delegasi pertama saat itu dipimpin oleh Mr. Suwandi (Menteri Kehakiman), Mr. Abdul Karim sebagai sekretaris negara dan dr. Sudarsono (mendagri).

Dalam buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” ditulis oleh M. Zein Hassan, Lc, Lt disebutkan pada 22 Maret 1946, Mesir mengakui de facto kemerdekaan RI, pemerintah Mesir juga bersedia menanggung kehidupan ekonomi warga Indonesia di Mesir tiap bulan sebagai ganti utang yang diputuskan kedutaan Belanda waktu itu.

Keputusan ini langsung diikuti oleh seluruh negara Arab, yang semenjak itu pula mengakui Panitia-panitia kemerdekaan di Kairo dan memberikan mereka fasilitas-fasilitas diplomatik.

Pemerintah Mesir bermurah hati kepada diplomat dan pelajar Indonesia untuk merayakan hari kemerdekaan nasional pertama di Mesir, dengan menggunakan corong Radio Mesir untuk mengumandangkan lagu ‘Indonesia raya’.

Setelah dari studio Radio Kairo mereka langsung menuju ke Pusat Syubban Muslimin untuk mengikuti perayaan kemerdekaan nasional dengan menggelar pentas seni dengan judul “Kembalinya Surga”, merupakan teater politik yang dikutip dari buku “Audatul Firdausi” (Kembalinya Surga) gubahan sastrawan Arab-Indonesia alm. Ahmad Ali Bakatir, yang mengisahkan pertemuan pejuang bawah tanah dengan seorang dara pengikut Soekarno di ibukota yang berakhir pertemuan di lapangan Gambir dalam suasana Proklamasi yang menggembirakan. Aksi teater ini dimainkan oleh para pemuda Mesir. Disana mereka sudah dinanti oleh kesatuan-kesatuan Pandu Mesir yang turut bersuka ria malam itu merayakan hari kemerdekaan nasional Indonesia.

Saatnya Berbalas Budi


Sekarang, tragedi kemanusiaan di Mesir dan Palestina sudah sangat familiar di telinga kita Saat ini mereka juga sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Sama seperti saat masa-masa penjajahan yang dialami oleh Indoneisa.

Inilah saatnya saudaraku, sebagai seorang muslim yang saling merasakan penderitaan saudara seimannya, sudah seharusnya tidak ada lagi beban kita mengeluarkan segala daya upaya untuk membantu mereka mengambil kembali hak kemerdekaan. Apakah itu uang, harta, benda, dukungan, ikut aksi, bahkan hanya melalui doa.

Ingatlah Saudaraku, kemerdekan dan kebebasan yang kita rasakan di Tanah Air saat ini tidak mungkin kita dapatkan tanpa pertolongan saudara-saudara kita di Mesir dan Pelstina, dan Allah Swt. tentunya.

Wallahu 'Alam Bissawab.

Artikel ini dibuat untuk diikutsertakan pada Kompetisi Blog BEM Farmasi FK Unand

Daftar Pustaka :
www.dakwatuna.com
id.wikipedia.org


No comments:

Post a Comment